Jumat, 04 Januari 2013

Konsep pendidikan karakter



Konsep pendidikan karakter
Sistem pendidikan di Indonesia secara umum masih dititikberatkan pada kecerdasan kognitif. Hal ini dapat dilihat dari orientasi sekolah sekolah yang ada masih disibukkan dengan ujian, mulai dari ujian mid, ujian akhir hingga ujian nasional. Ditambah latihan-latihan soal harian dan pekerjaan rumah untuk memecahkan pertanyaan di buku pelajaran yang biasanya tak relevan dengan kehidupan sehari hari para siswa. 

Saatnya para pengambil kebijakan, para pendidik, orang tua dan masyarakat senantiasa memperkaya persepsi bahwa ukuran keberhasilan tak melulu dilihat dari prestasi angka angka. Hendaknya institusi sekolah menjadi tempat yang senantiasa menciptakan pengalaman pengalaman bagi siswa untuk membangun dan 
membentuk karakter unggul. 

Pengertian Pendidikan Karakter 
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan ber
karakter mulia. 

Konsep Pendidikan Karakter 
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku). 

Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya). 

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter. 

Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”. 

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi 
karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. 

Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, 
hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. 

Pendidikan karakter berpijak dari 
karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri. 

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan 
kualitas pendidikan karakter. 

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya 
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik. 

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut. 


SEKOLAH SEBAGAI TANGAN-TANGAN PERADABAN MASA DEPAN (Implementasi Budaya Pluralistik, Inklusif dan Kontekstual Intelligent School pada SMA)



SEKOLAH SEBAGAI TANGAN-TANGAN PERADABAN MASA DEPAN
(Implementasi Budaya Pluralistik, Inklusif dan Kontekstual  
Intelligent School pada SMA)


Manusia terlahir dengan segala potensi yang dimiliki dan karakteristik yang khas, potensi dan karakteristik tersebut terlahir tidak akan sama persis dengan manusia lainnya, hanya satu kesamaannya yaitu manusia terlahir sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah SWT. Hakikat manusia dengan keberagaman tersebut sudah sepantasnya menjadi dasar pembangun dalam segala aspek, tidak terkecuali pendidikan.
Sekolah sebagai tangan-tangan peradaban masa depan, harus mampu menjadi wadah dalam mengelola serta mempersiapkan sumber daya yang memiliki pengetahuan yang cerdas dan memiliki nilai-nilai yang positif, serta memiliki karakteristik Excellent Personallity (kepribadian unggul).
Kenyataan yang berkembang di Indonesia, umumnya sekolah belum begitu mampu menerapkan atau bahkan menghargai perbedaan yang ada di masyarakat sehingga semakin pesatnya konflik yang bersumber dari perbedaan agama, ras, suku, ide, politik dan lain-lain. Kenyataannya sekarang masih jarang ditemukan sekolah yang mampu menempatkan keberagaman sebagai pondasi dalam mewujudkan pendidikan yang bernilai.
Pengembangan budaya pluralistik, inklusi ataupun kontekstual harus mampu dikembangkan di sekolah. Arah dan pandangan tersebut mampu dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Sekolah bukan saja mampu mengontrol pengetahuan yang dimiliki siswa, tetapi sekolah harus mampu mengontrol nilai-nilai yang ada pada siswa.
Dalam kontek perubahan, pendidikan memegang peranan yang sangat penting sekali. Pendidikan sebagai kontrol perubahan, penyuplai bahan bakar perubahan (SDM) dipadukan dengan keterikatan nilai-nilai akan menjadikan sebagai pendidikan masa depan dan persekolahan khususnya sebagai tangan-tangan peradaban masa depan.

Mahalnya Pendidikan di Indonesia



Tanggal 1 Juli kemarin ketika saya menyaksikan berita di sebuat setasiun televisi lokal Jawa Tengah, hati saya heran plus terharu ketika manyaksikan seorang ibu tua menuturkan mengapa anaknya tidak diterima di sebuah sekolah SLTA Negeri favorit di Semarang, “anak saya tidak diterima karena uang pangkal (baca: sumbangan untuk sekolah) kurang besar.”, tuturnya. Padahal anak dari orang tua tersebut memiliki nilai rata-rata kelulusan yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan anak-anak lainnya yang diterima di sekolah tersebut. (Kok bisa ya? Ya iyalah.. ada uang gitu lho…) Uniknya lagi hal yang sama tidak hanya terjadi pada orang tua dan anaknya tersebut, hal yang sama juga dialami oleh anak-nak yang memiliki prestasi tinggi namun secara keuangan mereka kurang mampu. Akhirnya mereka harus memilih alternatif sekolah lain, yang belum tentu cocok dengan keinginan dan mungkin kualitasnya belum tentu sama dengan sekolah-sekolah negeri favorit yang ada. 
Berdasarkanebut Surat Keputusan Wali Kota Semarang (Sukawi Sutarip) Nomor 6 Tahun 2008, tahun ajaran baru ini sistem penerimaan siswa baru di sekolah negeri Kota Semarang menggunakan dua jalur, yakni jalur khusus dan reguler. Sukawi mengizinkan sekolah memungut sumbangan dari wali murid lewat jalur khusus. Maka sejumlah SMP dan SMA negeri, terutama yang favorit, berlomba mengeruk uang orang tua murid, mulai dari Rp 2,5 juta hingga Rp 20 juta (wooow..), sebagai persyaratan penerimaan siswa baru. "Kalau ada wali murid yang mau menyumbang sekolah, masak ya dilarang?" kata Sukawi, Rabu pekan lalu.

Kok bisa gitu yaa..? (Anda bingung? sama) Disadari atau tidak oleh oleh yang berujar, apa yang telah dilakukan sebetulnya telah melegalkan segala bentuk pungutan liar oleh sekolah, apa lagi dengan nominal yang begitu besar. Sekolah yang dianggap favorit ramai-ramai kenduri menyantap hidangan yang enak tersebut, siapa yang mau bayar mahal dialah yang bisa masuk ke sekolah kami (mungkin itu kata mereka yaa..).

Penggalan cerita dan sedikit uraian di atas tadi sanggat menarik untuk disimak lantaran mengandung dua alasan utama. Pertama, cerita itu sangat "mengharukan" karena hanya dapat ditarik kesimpulan bahwa betapa di negeri ini untuk sebuah bangku sekolah itu harus "dibeli" dengan harga yang mahal, yang tentunya begitu berat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat.

Betapa tidak, untuk memasukkan anaknya ke sekolah pada saat ini orangtua diharuskan terlebih dahulu membayar uang pangkal Rp 2 jutaan. Bahkan lebih. Itu baru masuk SD. Semakin tinggi jenjang pendidikannya, uang pangkalnya juga akan semakin tinggi. Bisa mencapai 4 juta hingga 20 jutaa. (Wooow…) Dan lagi-lagi, itu baru perkara uang pangkal. Tagihan lainnya yang mencekik leher orangtua adalah SPP yang berkisar antara Rp 150.000 - Rp 700.000 per bulan (tergantung status dan favorit tidaknya sebuah sekolah), uang pakaian seragam, uang buku, uang kegiatan, dan tagihan lainnya dari sekolah. Begitu mahalnya biaya yang dibutuhkan, maka sekolah akhirnya hanya bisa dimasuki mereka yang berduit semata, sedangkan mereka yang berekonomi lemah terpaksa harus gigit jari dan mata melotot melihat mereka yang menikmati ceriahnya bangku sekolah.

Kedua, cerita yang sama, juga memberi kita "rasa takjub" sebab ada kegigihan yang luar biasa dari para orangtua untuk menyelamatkan masa depan anak mereka di sebuah tempat bernama sekolah. Bagi orangtua, sekolah tampaknya masih dijadikan tempat yang bisa mengubah nasib anak-anak mereka. Rasa takjub yang sama akan kita saksikan jika kita berlibur di desa-desa pada saat liburan sekolah. Ternyata di sana juga tidak sedikit orangtua yang disibukkan dengan menjual sawah dan berbagai ternak untuk biaya sekolah anaknya.

Begitulah kenyataan yang menjadi kalender tetap yang tersembunyi di balik kalender pendidikan nasional kita. Penggalan sedikit cerita itu menghadirkan satu pertanyaan menggelitik; masih adakah sekolah bagi mereka yang miskin dan kurang di negeri ini?
Kisah "mengharukan" dan "menakjubkan" di atas sepertinya memperjelas terminologi bahwa "orang miskin di negeri ini dilarang sekolah". Dari hari ke hari kaum miskin makin kehilangan hak-haknya yang telah dirampas oleh pembangunan yang tunduk pada pasar. Kian hari jumlah orang miskin kian bertambah, sedangkan kekuasaan makin menjauh dari mereka.

Semenjak neoliberalisme menjadi program utama yang dianut bangsa ini, sejak itu juga orang miskin semakin sulit untuk menikmati pendidikan, pelayanan kesehatan, tempat tinggal yang memadai, dan pekerjaan yang layak. Neoliberalisme sebagai ideologi dunia seolah telah sukses meluluhlantakkan pertahanan hidup orang miskin untuk berpendidikan.

Tidak bisa dimungkiri lagi bahwa pendidikan model pasar telah menjadi mesin produksi yang harus bekerja terus-menerus dengan logika "efektivitas dan efisiensi" untuk menciptakan "generasi intelektual instan" yang serba seragam, termasuk seragam dalam cara pemikirannya. Model pendidikan seperti ini kemudian mengenyampingkan sebuah proses pendidikan yang di dalamnya terdapat titik-titik pencerahan dan pembebasan manusia dari keterkungkungan. Hasil dari proses pendidikan dengan logika efektivitas dan efisiensi itu adalah hadirnya para koruptor dan munculnya manusia yang berwatak kasar.

Perlu dipertanyakan kemudian adalah komitmen pemerintah mengenai kebijakan di bidang pendidikan. Selama ini, sangat terasa janggal di mana subsidi pendidikan lebih kecil daripada subsidi militer. Hal ini merupakan bukti bahwa pemerintah lebih bangga dan senang dengan kekerasan daripada kecerdasan warga negaranya yang bisa muncul melalui pendidikan.

Sekadar perbandingan saja, kalau kita menengok kebijakan Pemerintah Republik Rakyat China (RRC), misalnya, di sana pemerintahnya mampu membiayai 5.000-10.000 mahasiswa untuk belajar ke Eropa. Hal yang sama dilakukan oleh Perdana Menteri Malaysia yang tiap tahun mengirim 50.000 calon doktor, antara lain, ke Inggris dan Amerika. Jumlah seperti itu dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah karena pemerintah di dua negeri ini "melek pengetahuan".

Di negara ini kondisinya malah kebalikannya. Hingga saat ini, hanya mereka yang berkantong tebal yang bisa menikmati pendidikan bermutu di luar negeri. Karena mereka harus mengeluarkan biaya sendiri untuk biaya pendidikannya di negeri orang, maka sepulangnya ke Tanah Air para ilmuwan itu berusaha untuk "mengembalikan modal" dengan berbagai cara. Korupsi kemudian menjadi sesuatu hal yang tidak luput dari perilaku mereka. Dan, kasus korupsi miliaran di negeri ini justru banyak dilakukan oleh para intelektual dan akademisi.

Selain pemerintah tidak memberikan perhatian besar pada dunia pendidikan, pemerintah bahkan ikut merusak lembaga pendidikan dengan "menciptakan suasana tidak aman" di dalam negeri. Konflik yang berlarut-larut di banyak daerah dan "tambal sulamnya" kebijakan dalam dunia pendidikan, membuat dunia pendidikan di negeri ini jauh tertinggal dari negara-negara tetangga.

Ekses dari minimnya keberpihakan pemerintah terhadap pendidikan maka kini bertebaranlah mental-mental "rapuh" yang muncul dalam perilaku korupsi pada pribadi-pribadi pejabat bangsa ini. Korupsi yang merambah ke semua sektor, termasuk sektor pendidikan sendiri, kini seolah menjadi "benang basah yang sulit ditegakkan". Bahkan, hingga hari ini penyelenggaraan pendidikan sering kali tanpa tahu malu dan basa basi terutama dalam mempraktikkan tindakan tercela dalam berbagai kegiatan sekolah dan proyek-proyek lainnya.

Kini sudah saatnya kebohongan besar seperti ini harus dihentikan dan proses penyadaran bagi masyarakat harus diteriakkan. Bukan pendidikan yang menipu kita selama ini, melainkan pihak-pihak (oknum-oknum) yang memanfaatkan pendidikan untuk meraup laba yang telah menipu masyarakat bangsa ini. Pendidikan telah dipoles cantik dengan gedung-gedung megah dan janji-janji menggiurkan, yang membuat terbatasnya akses masyarakat ke dunia pendidikan.

Hanya dengan pendidikan murah, negeri ini akan diselamatkan. Dengan pendidikan murah, masyarakat akan bergembira menduduki bangku sekolah. Dengan perasaan senang, masyarakat bebas mengungkapkan berbagai kreativitas yang ada dalam dirinya.

Dan, dengan penyelenggaraan pendidikan murah juga akan mudah mengontrol perilaku korupsi yang marak terjadi pada berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam sektor pendidikan itu sendiri; karena dana yang sedikit akan mudah diketahui dan dipertanggungjawabkan. Dan, dengan pendidikan murah diskriminasi terhadap orang miskin untuk tidak boleh sekolah bisa dihindarkan. Singkat kata, dengan penyelenggaraan pendidikan murah, orang miskin tidak lagi dilarang untuk sekolah.